Rabu, 30 Juni 2010

REFORMASI KEPEMIMPINAN PUBLIK

REFORMASI KEPEMIMPINAN PUBLIK
I. PENDAHULUAN
Kepemimpinan publik dalam manajemen pemerintahan (public management) telah berkembang menjadi sangat kompleks, sehingga perlu adanya reformasi dalam menghadapi perubahan keanekaragaman kaleidoskopis yang terus berkembang.
Banyak Negara telah melakukan langkah-langkah reformasi manajemen peme-rintahan dengan mendorong tangungjawab pembuatan keputusan dari bawahan (respon-sibility for decision making downward) meningkatkan penggunaan sektor privat untuk memberi pelayanan publik dan konsentrasi lebih besar pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada warganegara (citizen) sebagai pelanggan (customer) (Kim, 1997:7). Sehingga pada gilirannya standar kinerja organisasi publik akan sama tinggi dengan standar kinerja organisasi bisnis, bahkan dengan semakin tingginya tuntutan pelayanan publik, membuat administrasi publik bergerak lebih “businesslake”.
Gore (1995:91) mengemukakan bahwa “agar pemerintah dapat berkompetisi di dalam sIstem ekonomi global seperti sekarang ini, dimana konsumen adalah raja, bukan pengusaha adalah raja, pemerintah harus berpaling dari budaya reskriptif kepada budaya responsif”.
Hal ini akan menuntut adanya reformasi kepemimpinan publik dalam manajemen publik (manajemen pemerintahan). Untuk tercapainya pemerintah yang baik (good governance) di tengah-tengah sistem ekonomi global.
Pemerintah yang baik (good governance) menurut pemahaman Gore (1995:92) adalah pemerintah yang digerakkan oleh suatu kesadaran baru dan sikap responsif dari para pengguna jasa (government is driven by a new awareness of and responsiveness to customer).
Reformasi kepemimpinan publik dalam manajemen publik (pemerintahan) sangat diperlukan, mengingat saat ini, pemerintah sudah saatnya digerakkan berdasarkan visi bukan hanya berdasarkan peraturan (regulasi). Kepemimpinan yang visioner akan menyelamatkan dari kebutaan arah yang dapat menyesatkan dan berlabuh ke tujuan yang keliru.
Pemimpin yang berhasil selalu mengatakan bahwa visi adalah cahaya yang membimbing dan kekuatan yang mendorong pemerintahan. Para ahli mengatakan bahwa visi adalah faktor yang vital bagi para pemimpin. Setiap pemimpin membentuk visi dengan caranya masing-masing, kadang-kadang bersifat obyektif dan rasional, dan kadang-kadang intuitif dan subyektif. Salah satu tujuan visi, untuk memudahkan proses management strategic, dan hanya pada organisasi pemerintahan yang telah menyatu dengan visinya, para pemimpin dapat mulai mengembangkan strategi yang diperlukan untuk mewujudkan visi tersebut, dan tidak ada kendala di antara keduanya.
Pemimpin yang efektif selalu mempunyai rencana, mereka berorientasi penuh pada hasil mengadopsi visi baru yang menantang, yang dibutuhkan dan bisa dijangkau, mereka mengkomunikasikan visi tersebut, dan mempengaruhi orang lain sehingga arah baru mereka mendapat dukungan dan bersemangat memanfaatkan sumber daya dan energi yang mereka miliki untuk mewujudkan visi tersebut.
Pemimpin adalah pelopor, pengembara di kawasan yang belum terjamah, mereka membawa kita kepada tujuan baru yang sering aneh. Orang yang memimpin adalah barisan terdepan yang memperjuangkan perubahan. Alasan unik untuk memiliki pemimpin di antaranya karena adanya perbedaan peranan mereka, khususnya adalah untuk menggerakkan kita ke depan, karena pemimpin mengantar kita ke suatu tujuan.
Tanpa visi yang membangkitkan harapan, maka yang ada hanyalah jalan pintas. Kepemimpinan visioner dapat dikembangkan atau sekurang-kurangnya ditingkatkan, dan masa depan bangsa benar-benar membutuhkannya, dan mengharapkannya, organisasi-organisasi tidak dapat bertahan hidup tanpa visi, dengan demikian, waktu telah tiba bagi kita untuk mulai menyuarakan visi secara lantang dan jelas, mem bawa pemerintahan di barisan terdepan pembaharuan yang akan membangkitkan optimisme untuk dekade berikut dan berjanji untuk itu kepada orang yang bekerja bersama dan negara secara keseluruhan. Visi merupakan kunci menuju kepemimpinan yang sukses dan kepemimpinan adalah kunci menuju keberhasilan mencapai tujuan pemerintahan.

II. PERLUNYA REFORMASI KEPEMIMPINAN PUBLIK
Kepemimpinan publik sebagai kepemimpinan birokrasi publik memegang peranan yang sangat strategis, karena berhasil tidaknya birokrasi publik menjalankan tugas-tugas pelayanan sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Oleh karena itu kedudukan pemimpin sangat mendominasi semua aktivitas yang dilakukan birokrasi.
Pada konteks birokrasi publik yang sangat paternalistik, di mana para staf (bawahan) bekerja selalu tergantung kepada pemimpin. Apa bila pemimpin tidak memiliki kemampuan kepemimpinan, maka tugas yang sangat kompleks tidak dapat dikerjakan dengan baik. Dalam kenyataan tidak sedikit pemimpin birokrasi publik dipelbagai tingkatan (level) yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin yang baik. Hal ini disebabkan oleh sistem rekruitmen yang tidak didasarkan pada kompetensi.
Adanya pandangan dari beberapa hasil penelitian bahwa pada birokrasi publik menunjukkan masih lemahnya kepemimpinan dalam berbagai level atau tingkatan tingkat penguasaan kepemimpinan pada umumnya masih rendah. Selain itu kapasitas dan kesadaran pemimpin yang memiliki kewajiban untuk melayani, sangat terbatas bahkan tidak sedikit mereka minta untuk dilayani. Kewenangan formal menjadi senjata ampuh dalam menggerakkan bawahan. Akibatnya bawahan bekerja bukan atas kesadaran sendiri, tetapi karena tekanan atasan, sehingga hubungan yang harmonis antara atasan dengan bawahan tidak lagi terjalin dengan harmonis. Padahal keduanya merupakan satu kesatuan tim kerja yang dipelihara dalam menjalankan visi dan tujuan birokrasi. Dapat diidentifikasi adanya beberapa fenomena kepemimpinan publik, antara lain:
1. Pemimpin publik dalam menjalankan roda birokrasi umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi, tetapi masih senantiasa digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya pemimpin tidak dapat mengembangkan sumber daya birokrasi serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam hal ini kebutuhan masyarakat. Khususnya untuk pola yang dikembangkan ini merupakan manivestasi gaya kepemimpinan otoriter atau setidaknya gaya kepemimpinan bersifat directive, sangat ketat di dalam memegang teguh peraturan dan sangat sedikit terjadi improvisasi kebijakan-kebijakan untuk mentoleransi adanya kekhususan, keberatan, kedaruratan, maupun peristiwa yang tidak terduga. Pemimpin senantiasa berpatokan pada peraturan yang sudah ada.
2. Pemimpin publik senantiasa mengendalikan kewenangan formal yang dimilikinya, kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan bawahan. Mereka kurang memahami bawahan, yang memiliki perbedaan-perbedaan karakteristik, seperti kemampuan, pengetahuan sikap, perilaku, etos kerja dan sebagainya. Dalam kaitan ini, bilamana seorang atasan mengenal karakter bawahannya, maka akan lebih mudah menggerakkan atau memberikan motivasi yang tepat bagi setiap pegawai yang akan berdampak kepada peningkatan kualitas pelayanan.
3. Pemimpin publik memiliki kompetensi rendah. Hal ini tidak terlepas dari pada pola promosi pada birokrasi publik yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang akan diangkat. Seperti telah dikenal dalam birokrasi publik promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta penilaian DP3. Sementara dengan melalui indikator-indikator tersebut tidak mampu menginformasikan kinerja pemimpin secara objektif. Pangkat, golongan, dan ruang di lingkungan birokrasi publik tidak memiliki basis penilaian yang rasional. Dasar kepangkatan dan golongan hanyalah diukur dengan indikator formal berupa latar belakang pendidikan dan lama bekerja. Sementara orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama, dengan lama kerja yang sama bisa jadi memiliki kompetensi yang berbeda. Hal ini menimbulkan bias di dalam sistem kepangkatan dan promosi pegawai.
4. Lemahnya akuntabilitas pemimpin publik. Tidak adanya transparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh birokrasi. Pada hal akuntabilitas ini penting dilakukan agar warga masyarakat dapat memberikan koreksi dan kontrol kepada birokrasi. Sistem akuntabilitas yang dilakukan hanyalah terbatas pada akuntabilitas administratif belaka.
Fenomena tersebut dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut (Warsito, 2003:41):
1. Bahwa birokrasi berada dan bekerja pada lingkungan yang hierarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority. Keadaan ini membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku ada di lingkungan yang hanya sebatas following the instruction, dan juga dikarenakan ada di dalam tightening control, maka birokrasi menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas.
2. Birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (publik service, development and empowering), dan akibatnya adalah menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang sangat tambun sehingga mengurangi kelincahannya.
Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi kepemimpinan publik yang mengarah kepada pendekatan good governance dengan kepemimpinan yang memiliki pemikiran visioner, bersikap terbuka, memiliki komitmen yang tinggi terhadap kinerja pelayanan memupuk kompetensi dan akuntabel di dalam semua kebijakan, tindakan maupun langkah-langkahnya.
III. REFORMASI KEPEMIMPINAN PUBLIK
Dalam kepemimpinan publik harus memiliki inspirasi dan energi, dalam ini cakap dan cerdas mengorganisir, mengintegrasikan segenap potensi kekuatan dalam birokrasi publik untuk mencapai pelayanan publik yang memuaskan (berkeadilan) seba-gai provider jasa-jasa publik yang tidak dapat diprivatisasi dan pemberdayaan sebagai provider kebutuhan dan tuntutan akan barang dan jasa (public utility) yang tidak mampu terpenuhi secara mandiri (powerless).
Dalam kepemimpinan publik harus memiliki visi jauh ke depan sehingga tak pernah berhenti tertantang. Visi hendaknya realistis, dapat dipercaya dan menarik bagi organisasi. Karena visi adalah pemyataan tujuan ke mana organisasi akan dibawa, sebuah masa depan yang lebih baik, lebih berhasil, atau lebih diinginkan dibandingkan dengan kondisi sekarang. Visi selalu berhubungan dengan masa depan dan visi merupakan awal masa depan, karena visi mengekspresikan apa yang akan dicapai melalui usaha keras. Karena banyak pihak tidak memikirkan secara sistematis tentang masa depan, maka hanya mereka yang memikirkannya dan yang mendasarkan strategi serta tindakan mereka pada visilah yang dapat memusatkan kekuatan untuk membentuk masa depan.
Organisasi berada di bawah pengaruh apa yang menjadi visi mereka, mentransformasikan yang tidak ada menjadi ada, dan mewamai realita pada masa mereka dengan warna imajiner masa depan. Jadi masa depan sebenarnya sudah dimulai pada masa sekarang, terbentuk melalui orang-orang yang menciptakan warna imajiner ini, dan mereka sebaliknya telah terlebih dahulu memfokuskan dan melengkapi masa depan untuk kebaikan maupun keburukan. Visi hanyalah sebuah gagasan atau gambaran tentang masa depan yang lebih baik bagi organisasi, tetapi visi yang benar adalah gagasan yang penuh dengan kekuatan yang mendesak dimulainya masa depan dengan mengandalkan keterampilan, bakat, dan sumber daya dalam mewujudkannya. Visi memainkan peran penting, tidak hanya pada tahap awal, tetapi pada keseluruhan siklus kehidupan organisasi. Visi merupakan rambu petunjuk bagi siapa saja yang ingin mendalami sebuah organisasi dan kemana arahnya.
Para pemimpin harus membentuk maksud-maksud mereka berdasarkan pengetahuan utuh tentang aspirasi dan nilai yang telah ada dalam organisasi dan kemudian menggabungkan visi dengan kerangka mental masing-masing pihak terkait secara individual, para pegawai dan manajer di dalam organisasi pemerintahan, demikian pula para pelanggan, investor dan pihak penting lainnya di luar organisasi tersebut. Para pemimpin dapat mencapai ini melalui tiga tugas utama pemimpin sebagai juru bicara, yakni: komunikasi jaringan dan personifikasi visi (menghidupkan mimpi).
Tujuan pemimpin sebagai agen perubahan adalah menghasilkan keputusan investasi dan perubahan organisasional lainnya yang diperlukan dalam merealisasikan visi, Apabila seorang pemimpin visioner memiliki kemampuan luar biasa dalam peran ini, maka dengan sendirinya dapat menciptakan masa depan dan dalam prosesnya juga akan mengubah cara memandangnya. Organisasi abad dua puluh satu juga menekankan peran pemimpin visioner sebagai agen perubahan, mempromosikan eksperimentasi, menciptakan perubahan, dan menetapkan budaya organisasi yang di dalamnya terdapat keberanian mengambil risiko dan partisipasi yang luas serta sangat dihargai, untuk menghadapi perubahan di masa depan.
Mungkin lebih penting lagi, semua hal yang berkaitan dengan "reinventing government" dapat diarahkan agar fungsi pemerintah dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menciptakan pemerintah yang lebih bersih dan berwibawa. Kondisi sebagaimana disebutkan di atas menurut Ramto (1997: 16) akan mampu mewujudkan manajemen yang baik, yang tercermin dari keterkaitan dan komitmen yang berwenang kepada kepentingan rakyat.
Lebih lanjut Gore (1995: 117) mengemukakan bahwa untuk mengelola pemerintahan secara baik dan dapat memperkecil biaya operasional pemerintah (cost of government) maka perlu diperhatikan empat hal sebagai berikut:
1. Mereduksi ukuran dan jumlah lembaga pemerintahan, program dan staf (downsizing).
2. Mempermudah prosedur (steamlining).
3. Mereformasi lembaga-lembaga secara struktural agar dapat menjalankan misinya dengan baik (re-structuring).
4. Melimpahkan fungsi kepada sektor swasta yang lebih piawai (Privatizing).
Jika kita menginginkan suatu pemerintahan yang tertata dengan baik, maka salah satu cara adalah melalui tindakan "enterprising". Sebagaimana layaknya perusahaan manapun, jika ingin misinya berjalan lancar, pemerintah perlu mengukur kemajuan yang dicapai. Osborne dan Plastrik (dalam Sudarsono, 1996: 41) menyodorkan lima strategi penerapan, reinventing government, yakni:
1. Creating clarity of purpose.
2. Creating consequences for performance.
3. Putting the customer in the driver's seat.
4. Shifting control away from the top and center.
5. Creating an enterpreneural culture.
Secara ringkas, prinsip re-inventing government tersebut dapat ditempuh melalui tiga agenda penting program reinventing government, yakni: (1) public private partnership atau privatization (2) budgeting reform dan (3) organization development and change (Sudarsono, 1994: 41).
Menurut Savas (dalam Sudarsono, 1996: 42) penerapan konsep privatization dalam suatu manajemen pemerintahan akan memunculkan butir implikasi sebagai berikut:
1. Efficiency through competition.
2. Equity.
3. Public debt reduction.
4. Wide share ownership.
5. Employee share ownership.
6. Strengthen the capital market.
7. Easy public sector pay problems.
8. Reduce government involvement in enterprise decision making.
9. Protect the national interest.
10. Political advantage.
Privatisasi dilakukan karena pemerintah tidak seharusnya mengerjakan hal-ihwal bisnis. Jika objeknya sungguh-sungguh tidak menyangkut hajat hidup orang banyak (Suryawikarta, 1997: 1). Jika demikian halnya, maka pemerintah harus secara selektif mengidentifikasikan barang-barang atau jasa-jasa apa yang dikategorikan publik (public goods) dan dikategorikan swasta (private goods)(Sudarsono, 1996:41).
Bila barang dan jasa (goods and service) yang sebenarnya bercirikan swasta (private) masih juga diproduksi atau terlalu banyak disubsidi oleh pemerintah, maka pertumbuhan beban pemerintah akan semakin tidak dapat dikendalikan, dengan demikian efisiensi dan efektivitas dalam manajemen pemerintahan dengan sendirinya tidak akan tercapai.
Itulah sebabnya, di banyak negara berkembang paradigma reinventing government dengan prinsip a smaller, better, faster and cheaper government (Osborne dan Gaebler, 1996). Kesemua upaya di atas pada intinya memfokuskan penataan pemerintahan agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas.
Dengan terjadinya perubahan paradigma tersebut di atas, maka organisasi pemerintahan .tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemenuhan akan barang-barang publik (public goods) akan tetapi melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh dan berkembangnya peran serta masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Barzeley (dalam Kristiadi, 1994: 30) yang mengemukakan bahwa, semakin pentingnya pandangan baru dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, dengan mengetengahkan kebutuhan birokrasi akan inovasi yang bersifat strategis.

IV. PENUTUP
Kepemimpinan publik merupakan faktor utama dalam manajemen pemerintahan yang dapat menentukan tercapainya tujuan pemerintahan, terutama untuk pencapaian fungsi primer (pelayanan publik) dan fungsi sekunder (pemberdayaan) dalam tata kelola pemerintahan.
Sehingga reformasi kepemimpinan publik, sangat dituntut untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang ada dalam sistem ekonomi global dengan pendekatan pemerintahan yang baik (good governance) yaitu pemerintahan yang digerakkan oleh suatu kesadaran baru dan sikap responsif dari pada pengguna barang dan jasa.
Dengan adanya reformasi kepemimpinan publik diharapkan akan dapat mendorong dan memotivasi tumbuh dan berkembangnya peran serta masyarakat, kearah pemerintahan yang baik (good governance) untuk berkompetisi didalam sistem ekonomi global.






DAFTAR PUSTAKA


1. Gore, Al (1995) “Common Sence Government Working Better With Less Cost, New York Random House”.
2. Kim, Pan Suk, (1997) “In Search of a New Direction of Administrative Reform in The Ase of Customers and Process. Makalah dan Internasional Seminar LANRI dengan IIAS 2-4 April 1997 Bandung.
3. Kristiadi, JB., (1997) “Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, Jakarta; STIA LAN Press.
4. Osborn, David and Ted Gaebler, (1996) “Reinverting Government, Mewirausahakan Birokrasi), Jakarta PPM.
5. Osborne, David & Peter Plastrik (2000) Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Jakarta PPM.
6. Sedarmayanti, (2007) “Good Governance dan Good Corporate Governance” Bandung, Mandar Madju.
7. Miftah Thoha (2007) “Kepemimpinan dalam Manajemen” Jakarta, PT Raja Giravindo Peserta.
8. Sudarsono, Hardjosoekarto, (1994) “Perubahan kelembagaan: Teori Implikasi dan Kebijakan Publik. Jakarta, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Nomor 1/Volume 1/Maret.
9. ---------------, (1996) “Pelayanan Prima Sektor Swasta dalam Mendukung Daya Saing; Model Alternatif bagi Sektor Publik; Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Nomor 1/Volume III/April.
10. Suradinata, (1996) “Ekologi Pemerintahan dalam Pembangunan” Bandung, CV Ramadhan.
11. Ranto, Bunyamin (1997) “Inovasi Kebijakan Publik sebagai Strategi Menghadapi Dinamika Sosial dan Global. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Pemerintahan. FISIP UNPAD 1997.
12. Suryawikarta, Bay, (1997) “Kebijakan Privatisasi dalam pelaksanaan Pelayanan Publik, Makalah pada Lokakarya Visi dan Misi Metropolitan, Bandung 29-30 Desember 1997.
13. Warsito Utomo (2003) “Dinamika Administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontenporer dalam Administrasi Publik”, Yogyakarta, Program Magister Administrasi Publik.







Nama Lengkap : Deden Gandana Madjakusumah
(Dr. Ir. D. Gandana MK., M.Si.)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan Fungsional Dosen : Lektor
Staf Ahli Pusat Pengkajian Kepemimpinan dan
Etika Pemerintahan (LP2KP)
Tempat, Tanggal lahir : Bandung, 27 Juli 1959
Alamat : Jl. Mars Raya No.15 Bandung 40286
Telp. 7564406 / 0811218014/
0817620816 – e-Mail : d.gandanamk@yahoo.com

1 komentar: