Sebelum membahas secara meluas dan mendalam mengenai Etika Birokrasi dan seluk-beluknya maka terlebih dahulu kita akan memahami pengertian-pengertian dasar terlebih dulu.
Etika berasal dari bahasa Yunanai, Ethos yang berarti kebiasaan atau watak dan dalam bahasa prancis disebut etiquet atau etiket yang dapat diartikan sebagai kebiasaan atau cara bergaul dan berperilaku yang baik. Secara konsep, etika dipahami sebagai “suatu sistem nilai yang mengatur mana yang baik dan mana yang buruk dalam suatu kelompok atau masyarakat”. Adapun birokrasi secara etimologis juga berasal dari bahasa Yunani yakni “Bureau”, yang artinya meja tulis atau tempat bekerjanya para pejabat. Birokrasi sendiri adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah untuk melaksanakan pelayanan umum sesuai dengan permintaan masyarakat.
Di dalam masyarakat modern di mana begitu banyak urusan yang terus-menerus dan cenderung tetap, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Dalam menjawab/melaksanakan urusan/tugas yang begitu banyak tersebut, anggota-anggota organisasi birokrasi sangat berperan. Dalam beberapa sebutan/istilah birokrasi sendiri diterjemahkan sebagai pemerintah yang anggota-anggotanya disebut aparat birokrasi atau birokrat, bahkan Rianto Nugroho D dalam buku “Kebijakan Publik” menyebut “Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil”.
CIRI-CIRI POKOK BIROKRASI MENURUT MAX WEBER:
Konsep awal yang mendasari gagasan modern tentang birokrasi berasal dari tulisan-tulisan Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, yang mengetengahkan ciri-ciri pokok dari birokrasi sebagai berikut:
1. Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan pembagian tugas dan tugas-tugas tersebut dilaksanakan oleh para ahli sesuai spesialisasinya.
2.Pengorganisasian kantor berdasar prinsip hierarkhi.
Dalam prinsip hierarkhi unit yang besar membawahi dan membina beberapa unit kecil. Setiap unit kecil dipimpin oleh seorang pejabat yang diberi hak, wewenang, dan pertanggungjawaban untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
3. Pelaksanaan tugas diatur dengan suatu peraturan formal dan aturan tersebut mencakup tentang keseragaman dalam melaksanakan tugas.
4. Pejabat yang melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat pengabdian yang tinggi.
5. Pekerjaan dalam organisasi birokratis didasarkan pada kompetensi teknis dan dilindungi dari pemutusan kerja secara sepihak. Menganut suatu jenjang karier berdasar senioritas dan prestasi kerja.
6. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri birokratis dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang tertinggi.
ASAS-ASAS UMUM BIROKRASI PEMERINTAHAN YANG BAIK
Asas umum pemerintahan yang baik tidak berlaku secara universal di setiap negara karena adanya perbedaan budaya, kebutuhan masyarakat yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi di setiap negara berlain-lainan. Dalam konteks negara Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan Soekarno berhasil meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program-program pembangunan yang menyentuh rakyat banyak. Pada masa orde baru rakyat mengalami kemakmuran dengan dilaksanakannya pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi belum dirasakan merata oleh masyarakat dan stabilitas telah memasung demokrasi/partisipasi rakyat, banyak pelanggaran hak asasi manusia dan menutup akses keterbukaan. Lepas dari hal tersebut di atas sesungguhnya masih dapat ditemukan asas-asas pemerintahan yang baik. Adapun Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik menurut Wahyudi Kumorotomo dalam buku “Etika Administrasi Negara” adalah:
A. Prinsip Demokrasi
Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam sistem pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia, dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan yang setiap warga negaranya mempunyai kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi, hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan, dan efisien.
B. Keadilan sosial dan pemerataan
Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan antarkelompok masyarakat kaya dengan miskin dan antardaerah/wilayah geografis antara perkotaan dengan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.
C. Mengusahakan kesejahteraan umum
Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah agar mempunyai komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan kepada rakyat.
D. Mewujudkan negara hukum
Mewujudkan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Maksud dari perwujudan negara hukum adalah aparatur pemerintah bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintah dalam melaksanakan tugas pemerintahan harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
E. Dinamika dan efisiensi
Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan-kebijakan yang tepat. Dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat untuk dapat menciptakan birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang. Di samping dinamika sebagai ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan, maka ukuran lain adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal ini diartikan adalah tetap mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan terhadap publik, tetapi tetap memperhitungkan pemakaian tenaga kerja, prosedur layanan, dan biaya yang dikeluarkan.
Selain itu, asas-asas umum pemerintahan yang baik tercantum juga dalam UU No. 28 / 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yaitu:
1. Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun dalam UU No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas diatas ditambah lagi dengan 2 asas yaitu Asas Efektivitas dan Asas Efisiensi.
TUGAS BIROKRASI
Sesuai dengan pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tugas Pegawai Negeri, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata, menyelenggarakan tugas negara, menyelenggarakan tugas pemerintahan, dan menyelenggarakan tugas pembangunan. Menurut Undang-Undang Kepegawaian tersebut di atas Pegawai Negeri terdiri dari Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pegawai Negeri Sipil.
Dalam undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa pegawai negeri harus bebas dari pengaruh golongan dan partai politik. Oleh karena itu pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Mengacu pada pengertian “Birokrasi dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai Negeri Sipil” – Rianto Nugroho D, Kebijakan Publik ─, maka tugas-tugas tersebut di atas juga merupakan tugas Pegawai Negeri Sipil (aparat birokrasi) karena Pegawai Negeri Sipil bagian dari Pegawai Negeri.
Adapun hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan kepada masyarakat dan pemberian pelayanan publik tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pelayanan publik yang meliputi transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, dan keseimbangan hak dan kewajiban.
Pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Adapun contoh-contoh dalam setiap kelompok pelayanan adalah:
1. Kelompok Pelayanan Administratif
Contohnya: Pelayanan pengurusan akte kelahiran, akte perkawinan, akte kematian, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan, surat izin mengemudi, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan sebagainya.
2. Kelompok Pelayanan Barang
Contohnya: Pelayanan penyediaan kebutuhan sembilan bahan pokok, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan sebagainya.
3. Kelompok Pelayanan Jasa
Contohnya: Pelayanan pengangkutan penumpang, pengangkutan barang, kesehatan, pendidikan, perbankan, telepon, listrik, dan sebagainya.
Alasan Pentingnya Etika Dalam Birokrasi.
Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapakan kita, maka pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketiga kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara yang kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel, menurut Agus Dwiyanto, bahwa :
Pertama, masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang, birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain. Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam “grey area “seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi “ policy guidance” kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi tiu sendiri yang seiring dengan semakin komplesnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.
Peraturan Kepegawaian Sebagai Bagian Dari Penerapan Etika Birokrasi. Berbicara tentang Etika Birokrasi tidak dapat dipisahkan dari Etika Aparatur Birokrasi itu sendiri karena ketika kata Etika Birokrasi didengungkan, secara tertulis memang belum diuraikan dengan jelas namun secara eksplisit Etika Birokrasi telah termuat dalam peraturan Kepegawaian yang mengatur para aparat Birokrasi (Pegawai negeri) itu sendiri, yang mana kita tahu bahwa Birokrasi merupakan sebuah organisasi penyelenggara pemerintahan yang terstruktur dari pusat sampai kedaerah dan memiliki jenjang atau tingkatan yang disebut hirarki. Jadi Etika Birokrasi sangat terkait dengan tingkah laku para aparat birokrasi itu sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat Birokrasi secara kongkrit di negara kita yaitu Pegawai Negeri baik itu Sipil maupun Militer, yang secara Organisatoris dan hirarkis melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing sesuai aturan yang telah ditentukan. Etika Birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi Birokrasi atau Pegawai Negeri yang secara structural telah diatur aturan mainnya, dimana kita kenal sebagai Kode Etik Pegawai Negeri, yang telah diatur lewat Undang-undang Kepegawaian. Kode Etik yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) disebut Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia ( Sapta Prasetya KORPRI) dan dikalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disebut Sapta Marga. Dengan sendirinya Kode Etik itu dibaca secara bersama – sama pada kesempatan tertentu yang kadang –kadang diikuti oleh suatau wejangan dari seorang pimpinan upacara disebut inspektur upacara ( IRUP ), maksudnya adalah untuk menciptakan kondisi – kondisi moril yang menguntungkan dalam organisasi yang berpengalaman dan mempertumbuhkan sikap mental yang diperlukan, juga untuk menciptakan moral yang baik. Kode Etik tersebut biasanya dibaca dalam upacara bendera, upacara bulanan atau upacara ulang tahun organisasi yang bersangkutan, dan upacara – upacara nasional. Setiap organisasi, misalnya PNS atau TNI dan lain-lain ada usaha untuk membentuk Kode Etik yang lebih mengikat atau mengatur anggotanya agar lebih beretika dan bermoral. Namun sampai sekarang belum diketahui sampai seberapa jauhnya dan juga belum dapat dipantau secara jelas dari perbuatan seseorang apakah yang bersangkutan melanggar Etika atau Kode Etik atau tidak, karena belum jelas batasannya dan apa sangsinya, sehingga benar-benar dapat dipergunakan sebagai ukuran atau criteria untuk menilai perilaku atau tingkah laku aparat Birokrasi sehingga disebut beretika atau tidak. Tetapi apapun dan bagaimanapun maksud yang hendak dicapai dengan membentuk, menanamkan Kode Etik tersebut adalah demi terciptanya Aparat Birokrasi lebih jujur, lebih bertanggung jawab, lebih berdisiplin, dan lebih rajin serta yang terpenting lebih memiliki moral yang baik terhindar dari perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan lain-lain. Agar tercipta Aparat Birokrasi yang lebih beretika sesuai harapan di atas, maka perlu usaha dan latihan ke arah itu serta penegakkan sangsi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode Etik atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam hubungannya dengan Kode Etik Pegawai Negeri yaitu dengan betul-betul menjiwai, menghayati dan melaksanakan Sapta Pra Setya Korpri, serta aturan-aturan kepegawaian yang telah ditentukan atau ditetapkan sebagai aturan main para aparat Birokrasi. Adapun aturan-aturan pokok yang melekat pada seorang Pegawai Negeri atau Aparat Birokrasi yang dapat dijadikan acuan Kode Etiknya dapat dilihat sebagai berikut : 1. Aturan mengenai Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Untuk menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan secara berdayaguna dan berhasilguna dalam rangka usaha mewujutkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual, dimana diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsure aparatur negara yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bersih, berwibawa bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggungjawabnya. Dalam hubungan ini Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dan perubahannya yaitu Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 telah meletakkan dasar yang kokoh untuk mewujutkan Aparat Birokrasi atau PNS seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban bagi Aparat Birokrasi sebagai salah satu kewajiban dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian. 2. Aturan mengenai kedudukan Pegawai Negeri sipil Pegawai Negeri sipil adalah unsure aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, pelayanan kepada masyarakat, mengatur masyarakat atau regulasi dan memberdayakan masyarakat. Kesetiaan dan ketaatan penuh tersebut mengandung pengertian bahwa pegawai negeri berada sepenuhnya dibawah aturan yang telah ditentukan. 3. Penghargaan Pegawai Negeri sipil Kepada Pegawai negeri dapat diberikan penghargaan apabila telah menunjukkan kesetiaan dan prestasi kerja dan memiliki etika kerja yang baik, dianggap berjasa bagi negara dan masyarakat perlu diberikan penghargaan kepada Pegawai Negeri yang bersangkutan berupa tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa yang secara otomatis kenaikkan gajinya sesuai pangkat, dengan harapan agar menjadi contoh kepada yang lain dalam melaksanakan tugas. 4. Keanggotaan Pegawai negeri dalam Partai Politik Untuk menjaga netralitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya agar lebih beretika dan bermoral, supaya terhindar dari kepentingan partai politik, maka sebaiknya Pegewai Negeri yang bersangkutan memundurkan diri demi menjaga moralitas yang merupakan etika aparat birokrasi. 5. Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil Ketentuan tentang Disiplin Pegawai Negeri sipil diatur dalam Peratuiran Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur hal-hal sebagai berikut : Kewajiban, larangan, sangsi, tata cara pemeriksaan, tata cara pengajuan keberatan terhadap hukuman disiplin yang kesemuanya dapat menjadi acuan dalam beretika bagi seorang aparat Birokrasi atau Pegawai Negeri. Peraturan disiplin Pegawai Negeri yang menjadi kewajiban dan harus ditaati sesuai Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, antara lain mengatur tentang :
- Kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.
- Mengangkat dan mentaati sumpah/ janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/ janji jabatan berdasarkan peraturan yang berlaku serta siap menerima sangsinya.
- Menyimpan rahasia negara dan atau rahasi jabatan dengan sebaik-baiknya.
- Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, bersemangat untuk kepentingan negara.
- Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara/ pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material.
- Mentaati ketentuan jam kerja.
- Memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
- Bersikap adil dan bijaksana terhadaop bawahannya.
- Menjadi atau memberikan contoh teladan terhadap bawahannya.
- Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk meningkatkan kariernya.
- Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama pegawai dan atasannya. Sementara Larangan yang merupakan aturan main yang turut mengatur perilaku aparat Birokrasi atau pegawai Negeri menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun1980, yang juga dapat dijadikan sebagai Kode Etik Birokrasi, yaitu larangan seperti :
- Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri sipil.
- Menyalahgunakan wewenangnya.
- Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara.
- Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri yang bersangkutan.
- Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat pegawai negeri sipil, kecuali kepentingan jabatan.
- Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya.
- Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi pemerintah.
- Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain. Semua kewajiban dan larangan yang diuraikan diatas kiranya dapat dipahami oleh pegawai negeri sipil selaku aparat birokrasi sebagai pagar atau norma dan aturan yang merupakan bagian dari Etika atau kode etik Pegawai Negeri yang notabenen merupakan aparat birokrasi. Selain Kewajiban dan Larangan yang harus ditaati oleh Pegawai Negeri, juga yang tidak kalah penting dalam pembentukan Etika Birokrasi adalah sangsi atau hukuman yang setimpal dengan pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas. Jenis sangsi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada Pagawai Negeri sangatlah bervariasi sesuai tingkat pelanggaran, adapun jenis sangsi tersebut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 terdiri dari :
1. Hukuman disiplin ringan antara lain : - teguran lisan - teguran tertulis - pernyataan tidak puas secara tertulis. 2. Jenis hukuman disiplin sedang, antara lain : - penundaan kenaikkan gaji berkala untuk paling lama satu tahun - penurunan gaji sebesar satu kali gaji berkala untuk paling lama satu tahun. - Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun. 3. Jenis hukuman disiplin berat, terdiri dari : - penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama satu tahun. - Pembebasan dari jabatan. - Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri selaku pegawai negeri sipil. - Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai pegawai negeri sipil. Dari sangsi hukuman yang diberikan dan patut diterima bagi siapa saja pelanggar Etika atau peraturan yang turut mengatur moralitas para aparat birokrasi di atas, jelaslah bagi kita beratnya sangsi atau hukuamn yang telah ditentukan, namun sekarang kembali lagi kepada penegakkan sangsi atas pelanggaran Etika tersebut, apa betul-betul dilaksanakan atau ditegakkan kepada mereka yang melanggar atau hanya sebatas retorika ataupun sangsi social saja, karena sangsi social hanya efektif apabila aparat Birokrasi itu berada di tengah-tengah masyarakat, sementara apabila dalam organisasi Birokrasi harus tegas berupa sangsi hukuman sesuai peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peraturan kepegawaian juga dapat dijadikan salah satu bagian dari kode Etik Birokrasi yang nantinya dapat mengatur segala bentuk tingkah laku dari Aparat Birokrasi dengan segala sangsi yang mengikat, sehingga diharapkan pelaksanannya dapat membuat aparat birokrasi lebih beretika. Jadi selain etika yang berlaku dalam masyarakat dimana aparat birokrasi merupakan bagian dalam masyarakat, maka secara otomatis dia harus terikat dengan aturan tersebut, sementara di satu sisi Aparat Birokrsi mempunyai aturan main sendiri yang secara Nasional di Seluruh Indonesia dapat diterapkan yaitu tercermin dalam Sapta Pra Setya Korpri bagi pegawai negeri dan Sapta Marga bagi TNI, serta aturan Kepegawaian yang berlaku dan juga ketentuan atau sangsi yang tegas dan nyata. Ini diharapkan dapat menjadi Kode Etik Birokrasi dan menjadi aturan main dalam dalam melaksanakan tugas dan fungsi Birokrasi agar dikatakan birokrasi lebih beretika dan bermoral.
makasih buat datanya..
BalasHapusinspiratif trimakasih
BalasHapus