Rabu, 30 Juni 2010

Sejak lama kepemimpinan menjadi pusat perhatian para ahli teori, ahli riset dan praktisi. Karena dalam kenyataannya tiada organisasi tanpa pemimpin, Courtois berpendapat bahwa, “Kelompok tanpa pemimpin seperti tubuh tanpa kepala, mudah menjadi sesat, panik, kacau dan anarki“. “Sebagian besar umat manusia memerlukan pemimpin, bahkan mereka memerlukan yang lain dari pada itu“, demikian pendapat Yung (dalam Sutarto, 1991:1). Dari beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi itu sangat penting artinya, karena pemimpin adalah yang menggerakkan, mengatur dan mengarahkan organisasi itu untuk mencapai tujuannya.
Dalam membahas masalah kepemimpinan ini, dimana dalam menjalankan proses kepemimpinan itu, tugas dan kewajiban Kepala Desa diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut : memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan ketertiban desa, mendamaikan perselisihan masyarakat di desa, dan mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasahukumnya. Dari tugas dan kewajiban kepala desa seperti tersebut di atas kepala desa mempunyai peranan yang jelas yaitu sebagai pemimpin organisasi dalam hal ini adalah organisasi pemerintahan desa.

Setiap pemimpin itu mempunyai fungsi dan peranan untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin merupakan titik sentral penggerak yang menentukan. Hal ini berarti kepemimpinan adalah syarat utama bagi organisasi yang ingin mencapai tujuannya secara efektif. Kepemimpinan yang menjadi bagian penting dalam sebuah organisasi, terus dicari jati dirinya. Dimana begitu banyak fenomena saat ini dimana sudah tak dapat dikenali lagi seperti apa wajah kepemimpinan di indonesia. Euforia desentralisasi dan otonomi daerah yang memberi kewenangan tiap-tiap daerah untuk mengatur dan melaksanakan rumah tangga pemerintahan sendiri, benar-benar telah membuat semua orang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin dan memberikankan definisi kepimpinan dengan versi sendiri. Desentralisasi baik kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan maupun desa semakin membuat kepimpinan seorang pemimpin menjadi tombak dari majunya sebuah organisasi.
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai. Sehingga jika dilihat pada konteks kepemimpinan hal yang saling terkait adalah adanya unsur kader penggerak, adanya peserta yang digerakkan, adanya komunikasi, adanya tujuan organisasi dan adanya manfaat yang tidak hanya dinikmati oleh sebagian anggota.
Kualitas kepemimpinan baru dapat dicapai apabila dalam diri setiap pemimpin tumbuh kesadaran dan pemahaman yang mendalam terhadap makna kepemimpinan dengan segala aspeknya seperti prinsip-prinsip, berbagai persyaratan dan fungsi-fungsi kepemimpinan, sehingga pemimpin mampu mengembangkan keterampilan, serta mewujudkan berbagai fungsi kepemimpimnan yang diperlukan. Oleh karena itu, perlu teersedia suatu sumber yang dapat dimanfaatkan untuk merangsang kesadaran, bahwa kepemimpinan di sini berperan dalam kehidupan berorganisasi. Dengan adanya kesadaran tersebut, akan menjadi pendorong untuk lebih memantapkan penguasaan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan serta peningkatan berbagai keterampilan untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan yang diperlukan.
Sekarang ini, banyak persoalan yang muncul dalam suatu organisasi. Persolan itu adalah bagaimana pemimpin suatu organisasi itu dapat mengatasi dan menyelaraskan segala macam kontradiksi tersebut untuk mendukung tercapainya tujuan suatu organisasi. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pemimpin yang efektif dan berkualitas, yaitu seorang pemimpin yang mampu menghadapi dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta gerak masyarakat yang selalu berkembang dan terkadang perkembangannya sangat cepat.
Adapun proses sebuah Kepemimpinan meliputi proses dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya ( Wikipedia Indonesia).
Pokok permasalahan tentang kepemimpinan yang efektif tersebut penting untuk diteliti karena seperti yang dikemukakan oleh Gibson (1997:5), “Jadi intinya, yang merupakan tombak dari masalah kepemimpinan adalah faktor-faktor apa yang membuat kepemimpinan menjadi efektif?”. Sebagaimana yang telah dikatakan, bagaimana seorang pemimpin diterima pengikutnya sebagian besar adalah tergantung pada gaya kepemimpinan.
1.1 Rumusan Permasalahan
Adapun permasalahan yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana Hubungan Kepemimpinan Kepala desa dengan tingkat kematangan Bawahannya ?
2. Bagaimana partisipasi rakyat desa terhadap proses kepemimpinan di Desa?


1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Hubungan Kepemimpinan Kepala desa dengan tingkat kematangan Bawahannya.
2. Untuk mengetahui partisipasi rakyat desa terhadap proses kepemimpinan di Desa.



1.4. Manfaat
1. Mengetahui Hubungan Kepemimpinan Kepala desa dengan tingkat kematangan Bawahannya.
2. Mengetahui partisipasi rakyat desa terhadap proses kepemimpinan di Desa.














BAB II
PEMBAHASAN

A. PEMIMPIN
Pemimpin adalah inti dari manajemen. Ini berarti bahwa manajemen akan tercapai tujuannya jika ada pemimpin. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama (Panji Anogara, Page 23).
Tugas dan Tujuan Pemimpin
Menurut James A.F Stonen, tugas utama seorang pemimpin adalah:
1. Pemimpin bekerja dengan orang lain
Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang diluar organisasi.
2. Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akontabilitas).
Seorang pemimpin bertanggungjawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.
3. Pemimpin menyeimbangkan pencapaian tujuan dan prioritas
Proses kepemimpinan dibatasi sumber, jadi pemimpin harus dapat menyusun tugas dengan mendahulukan prioritas. Dalam upaya pencapaian tujuan pemimpin harus dapat mendelegasikan tugas-tugasnya kepada staf. Kemudian pemimpin harus dapat mengatur waktu secara efektif,dan menyelesaikan masalah secara efektif.
4. Pemimpin harus berpikir secara analitis dan konseptual
Seorang pemimpin harus menjadi seorang pemikir yang analitis dan konseptual. Selanjutnya dapat mengidentifikasi masalah dengan akurat. Pemimpin harus dapat menguraikan seluruh pekerjaan menjadi lebih jelas dan kaitannya dengan pekerjaan lain.
5. Manajer adalah seorang mediator
Konflik selalu terjadi pada setiap tim dan organisasi. Oleh karena itu, pemimpin harus dapat menjadi seorang mediator (penengah).
6. Pemimpin adalah politisi dan diplomat
Seorang pemimpin harus mampu mengajak dan melakukan kompromi. Sebagai seorang diplomat, seorang pemimpin harus dapat mewakili tim atau organisasinya.
7. Pemimpin membuat keputusan yang sulit
Seorang pemimpin harus dapat memecahkan masalah.
Menurut Henry Mintzberg, Peran Pemimpin adalah :
1. Peran hubungan antar perorangan, dalam kasus ini fungsinya sebagai pemimpin yang dicontoh, pembangun tim, pelatih, direktur, mentor konsultasi.
2. Fungsi Peran informal sebagai monitor, penyebar informasi dan juru bicara.
3. Peran Pembuat keputusan, berfungsi sebagai pengusaha, penanganan gangguan, sumber alokasi, dan negosiator
Gaya kepemimpinan dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan, mengatur suatu sistem operasional organisasi, menjalankan, dan mengawal kebijakan dan menyelesaikan masalah, baik internal maupun ekternal. Pemimpin di desa (Kepala Desa) dituntut mampu melakukan perbaikan terus-menerus dalam pembentukan keunggulan kompetitif untuk berkembang dengan dilandasi dilandasi oleh keluwesan, tim kerja yang baik, kepercayaan, dan penyebaran informasi yang memadai, gaya kepemimpinan tersebut tercermin dalam gaya kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transformasional berorientasi kepada karyawan atau bawahan, memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada bawahan, melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya, kerja sama dan saling menghormati di antara sesama anggota kelompok. Dapat ditunjukkan : 1) Perangkat desa mempunyai persepsi bahwa kepala desa mampu mencerminkan kepemimpinan transformasional yang tinggi; dan 2) Perangkat desa mempunyai persepsi yang tinggi bahwa kharisma, inspirasional, stimulan intelektual dan konsideran individu yang merupakan karakteristik dari kepemimpinan transformasional kepala desa.

Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang selalu menarik untuk dikaji dan diteliti, karena paling banyak diamati sekaligus fenomena yang paling sedikit dipahami. Fenomena kepemimpinan di negara Indonesia juga telah membuktikan bagaimana kepemimpinan telah berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berpolitik dan bernegara. Dalam dunia bisnis, kepemimpinan berpengaruh sangat kuat terhadap jalannya organisasi dan kelangsungan hidupnya.

Kepemimpinan mempunyai fungsi yang harus dilaksanakan secara bersama dalam menjalankan peran sebagai pemimpin sebuah kelompok atau organisasi agar secara operasional berhasil guna. Fungsi tersebut adalah fungsi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi sosial atau pemeliharaan kelompok. Fungsi yang berkaitan dengan tugas dapat meliputi pemberian perintah, pendelegasian tugas, pemberian saran pemecahan dan menawarkan informasi serta pendapat. Sedangkan fungsi sosial atau fungsi pemeliharaan kelompok meliputi semua hal yang berkaitan dengan kelompok dalam melaksanakan tugas operasinya untuk mencapai tujuan dan sasaran secara bersama-sama dan atau secara sendiri-sendiri sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai mata rantai suatu sistem saling membutuhkan. Pemimpin yang berhasil menjalankan kedua fungsi tersebut dengan baik adalah pemimpin yang berhasil.

Gaya kepemimpinan dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan yang dilakukan pemimpin dalam menghadapi bawahan, mengatur suatu sistem operasional organisasi, menjalankan dan mengawal kebijakan, dan menyelesaikan masalah, baik internal maupun ekternal. Para ahli, misalnya Bass, Berry dan Houston, Burn, Eisenbach, dan Keller, mengemukakan ada dua gaya kepemimpinan dalam organisasi, yakni gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma-paradigma baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional. Bentuk kepemimpinan yang diperkenalkan oleh Burn (1992) yang mengkontraskan dengan kepemimpinan transaksional, dewasa ini, mengemuka kembali seiring dengan perubahan-perubahan yang cepat, kompleks, dan canggih dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, Bass (Howell dan Hall-Merenda; 1999) mengemukakan empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu karisma, inspirasional, stimulan intelektual, dan konsideran individual.

Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin dapat diterangkan melalui tiga aliran teori (Mustopadidjaja AR: 2006), yaitu : a) Teori Genetis (keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “leader are born and not made” (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin; b) Teori Sosial. Jika teori pertama adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa “leader are made and not born” (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup; dan c) Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim sebelumnya tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran.

difokuskan pada gaya kepemimpinan transfomasional kepala desa, yaitu untuk mengetahui gambaran secara jelas tentang kepemimpinan transformasional kepala desa yang ada di wilayah Kecamatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perangkat desa yang bekerja di pemerintahan desa, baik yang bekerja di kantor (misalnya sekretaris desa, kepala urusan dan staf pembantu) maupun di bagian lapangan. Desa yang dijadikan sampel dalam penelitian ini dipilih secara proporsional dengan diklasifikasi menjadi 3 kelompok desa, yaitu desa berbatasan dengan perkotaaan, desa dekat perkotaan dan desa jauh dari perkotaan. Responden dalam penelitian ini adalah perangkat desa yang ada di Kecamatan. Pengambilan responden (perangkat desa) dipilih dengan memenuhi kriteria yang telah bekerja lebih atau sama dengan satu tahun, dengan asumsi perangkat desa sudah menjadi tenaga tetap, sehingga dapat memahami pekerjaan yang dijalani yang terkait dengan kepemimpinan kepala desa.

Dalam analisis data, skor yang telah diperoleh diinterpretasikan dengan langkah-langkah : a) Asumsi bahwa skor subyek dalam kelompoknya merupakan estimasi terhadap skor subyek dalam populasi dan bahwa skor subyek dalam populasinya terdistribusi secara normal, dengan demikian dapat membuat skor teoritis yang terdistribusi menurut model normal; b) Distribusi normal terbagi atas enam bagian atau enam satuan deviasi. Tiga bagian berada disebelah kiri mean (bertanda negatif) dan tiga bagian berada disebelah kanan mean (bertanda positif); c) Kotegori Jenjang (ordinal). Tujuan ketegorisasi ini untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur.

Penggolongan kepemimpinan transformasional, dan sub variabel kepemimpinan transformasional yang meliputi kharisma, inspirasional, stimulan intelektual dan konsideran individu, digolongkan kedalam 5 kategori pencerminan, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.Gambaran Kepemimpinan Transformasional dapat dilihat berdasarkan item pertanyaan dari 4 sub variabel, yaitu kharisma dengan 10 pertanyaan, inspirasional dengan 10 pertanyaan, stimulant intelektual dengan 10 pertanyaan, dan konsideran individu dengan 7 pertanyaan dengan. Butir pertanyaan yang digunakan untuk mengukur kepemimpinan transformasional sejumlah 37 butir pertanyaan. Perhitungan butir pertanyaan menggunakan nilai rata-rata perbutir dibagi 4 (skala Likert) kemudian dikalikan 100 (mean dalam skala 100).



B. TATA PEMERINTAHAN DESA: ANTARA REALITAS, HARAPAN, KOMPLEKSITAS DAN TANTANGAN KE DEPAN
1.1. Persoalan Struktur dan Agensi dalam Tata-Pemerintahan Desa
Pertanyaan penting yang hendak dijawab oleh kegiatan studi-aksi “Pembaruan Tata-
Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan” (partnership-based rural governance reform) – selanjutnya disebut studi-aksi – yang dilakukan pada sepanjang tahun 2006 di lima provinsi di Indonesia (Naggroe Aceh Darussalam/NAD, Sumatera Barat, Jawa Barat, Bali dan Papua) sebenarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: “seperti apa dan bagaimanakah format sistem tata pengaturan pemerintahan desa (lokalitas) yang sistematis itu (boleh) diwujudkan, sehingga sebagai “infrastruktur-
kelembagaan” lokal, organisasi pemerintahan desa menampilkan karakter yang kokoh, kuat, dan mandiri (mampu menyelesaikan semua persoalan-persoalan di tingkat lokalitas tanpa banyak mengandalkan bantuan dari luar sistem), bermartabat (keberadaannya diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat, kredibel dan berwibawa), kompeten (struktur organisasinya efektif dan efisien dalam menyelesaikan berbagai pemasalahan), dan terpercaya (bersih dari sindroma Kolusi-Korupsi-dan-Nepotisme/KKN, transparan, serta akuntabel). Dengan karakter demikian, sistem pemerintahan desa menjadi sistem-kelembagaan yang andal dalam memelihara berjalannya tata-kehidupan sosial-
kemasyarakatan di wilayahnya. Dengan demikian, pemerintah desa (lokalitas) sebagai unit-pemerintahan, unit-birokrasi dan representasi negara di suatu kawasan tampil menjadi kelembagaan yang efektif, efisien dan bersih dalam memelihara berjalannya sistem sosial-kemasyarakatan serta proses transformasi yang menyertainya. Secara implisit, semua harapan-harapan itulah yang hendak dicapai oleh pasal-pasal dalam Undang Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah no. 32/2004 terutama pada bagian yang secara khusus menyinggung ihwal pemerintahan desa.

Cita-cita di atas memang terasa muluk, terutama jika menilik kondisi faktual kebanyakan kelembagaan pemerintahan desa saat ini yang berada dalam situasi yang memprihatinkan secara organisasional maupun manajerial. Sebagai unit birokrasi-pemerintahan, pemerintah desa menghadapi persoalan keterbatasan daya-kreasi untuk menginisiasi gagasan-pembaruan. Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai unit representasi-negara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian dalam pendanaan untuk memlihara eksistensi pemerintahan di suatu wilayah.Kualitas pelayanan publik, administrasi-pemerintahan, efektivitas dalam menjalankan kewenangan, kemampuan berinisiatif serta pembiayaan pembangunan yang ditunjukkanoleh kebanyakan pemerintahan desa saat ini, dipastikan 180 derajat berkebalikan dengan harapan dari semua pihak terutama oleh UU no. 32/2004.

Pemerintah desa sangat sulit diharapkan menjadi “entrepreneur-unit” yang progresif dan mampu menjadi penghela perubahan sebagaimana dituntut oleh gagasan “otonomi desa” (village-level autonomy) pada UU no. 32/2004 dan Pertauran Pemerintah di bawahnya.
Fakta-fakta yang digali dan ditemukan oleh studi-aksi di lapangan (lihat kembali isi working-paper series dari studi-aksi sebagaimana judulnya tercantum pada rujukan) memang membuktikan hadirnya sejumlah fakta yang memprihatinkan atas kinerja tata-kelola pemerintahan desa tersebut. Alih-alih menjadi mandiri, “wajah” organisasi pemerintahan desa justru diwarnai oleh beberapa hal yang kurang menggembirakan, seperti:
(1) derajat ketergantungan struktural pemerintahan desa (lokalitas) terhadap otoritas
pemerintahan “atas desa” yang makin hari semakin menguat, terutama dalam hal
pendanaan dan inisiasi kreativitas terhadap ide-ide perubahan;
(2) stok modal sosial (kepercayaan publik pada kelembagaan pemerintah desa) yang terus
menipis seiring dengan “etika-moral-penyelenggara-pemerintahan” yang menampakkan
ciri-ciri lamban, tidak responsif, dan praktek pemerintahan yang masih belum transparan-
akuntabel-bertanggung jawab (bad governance); serta
(3) sistem manajemen dan administrasi publik yang belum adaptif terhadap kebutuhan OTDA
seperti tegaknya efisiensi dan efektivitas dalam pengambilan keputusan.
Ketiga persoalan tersebut lebih banyak berlangsung pada “wilayah” struktur kelembagaan pemerintahan desa, sehingga sebagai “unit-pemandu-perubahan”, jelas pemerintah desa sulit memainkan peran sebagai institutional-entrepreneur bahkan pada tuntutan yang paling minimal sekalipun. Terdapat dua dampak siklikal atas terjadinya sindroma “ketidakberfungsian” kelembagaan (institutionally less-functional) pemerintahan desa yang perlu dicermati, terutama pada sisi human-actors (aparat dan warga desa).

Pertama, aparat desa dan warga desa umumnya menghadapi kemiskinan dalam menggagas inisiatif-inisiatif (poor of initiative) perubahan (pembangunan) yang bernas atau asli/otentik sesuai dengan potensi, persoalan serta kebutuhan di tingkat lokalitas. Kemiskinan stok-gagasan tersebut telah menyebabkan dampak bolak-balik terhadap kelembagaan pemerintahan desa berupa ketidakberdayaan untuk berperan sebagai “mesin perubahan sosial” (to generate local social change). Kedua, aparat pemerintahan desa menghadapi ketidakberdayaan dalam menggalang kekuatan lokal (terutama dalam membangun aksi dan kesadaran kolektif) bagi perubahan sosial-ekonomi dan masyarakat lokalitas secara mencukupi. Seringkali kelembagaan pemerintahan desa menghadapi persoalan kekurangan stok modal-sosial yang diperlukan sebagai “energi” (dalam bentuk trust dan jaringan sosial) bagi perubahandi aras kolektivitas sosial desa. Aksi-reaksi bolak-balik antara sisi “agensi dan struktur” tersebut telah menyebabkan tampilan keseluruhan tata-pemerintahan desa tidak kondusifuntuk menyambut era OTDA, terlebih dalam mengemban missi kemandirian desa.

Organisasi pemerintahan desa yang menghadapi persoalan pada dua sisi sekaligus yaitu institusi-organisasi pemerintahan dan human-actors, jelas sulit untuk dapat mengembangkan diri menjadi pilar yang kuat dalam mereproduksi tata-pemerintahan dan sistem sosial-kemasyarakatan yang kuat, mandiri dan berwibawa. Hingga titik ini, baik human-actors maupun struktur pemerintahan desa menjadi faktor penting yangmenjelaskan keterbatasan tata-pemerintahan desa3dalam merespons tuntutan otonomidesa. Oleh karena itu, maka pada komponen aksi kegiatan studi-aksi difokuskan pada upaya penguatan kedua aspek tata-pemerintahan tersebut. Dengan mengacu pada teori strukturasi pemerintahan desa yang diturunkan dari pemikiran Giddens (1984), dapat ditunjukkan betapa hubungan timbal-balik antara“agensi dan struktur” sangat mempengaruhi derajat kinerja tata-pemerintahan desa yang ditampilkan ke hadapan masyarakat. Hasil-hasil penelitian tim studi-aksi di NanggroeAceh Darussalam (NAD) dan Papua, jelas menunjukkan betapa dalam banyak hal, organisasi pemerintahan desa sulit mengembangkan diri menjadi “institutional entrepreneur” dikarenakan kelemahan pada sisi human actors-nya. Kedua kawasan tersebut jelas menghadapi persoalan serius berupa lack of “social-entrepreneurship” yang bertautan dengan persoalan psikologi-konflik, ketidakpercayaan, serta kekacauan suasana makro sosial yang melingkupinya. Secara keseluruhan, pemerintahan desa tidakmampu memberikan inspirasi bagi keseluruhan sistem sosial di kawasan mikro-desa untuk berubah ke arah kemajuan (lihat Kolopaking, 2006). Dari titik ini, harapan terbentuknya otonomi desa sebagaimana diamanatkan oleh UU no. 32/2004 dipastikan sangat sulit dicapai, kecuali jika sejumlah kekuatan eksternal dapat dialirkan untuk memperbaiki kedua sisi (institusi dan human agency) tersebut (lihat Nasdian, 2006).



1.2. Kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa
Cita-cita untuk mentransformasi kelembagaan pemerintahan desa ke arah yang lebih “adapted to the changing (local and extra-local) socio-political environment”, jelas tidak bisa dibendung dan memang mendesak untuk dilakukan agar kompatibel dengan cita-cita OTDA. Karakter kelembagaan pemerintahan desa (lokalitas) formal yang lebih adaptif terhadap cita-cita OTDA atau sesuai UndangUndang (UU) no. 32/2004 itu, bahkan telah merupakan sebuah keniscayaan dan kebutuhan untuk menjadi prasyarat yang diperlukan (“necessary condition”) demi berjalannya proses implementasi otonomi desa (village level autonomy) di lapangan. Namun, juga ada kebutuhan agar proses transformasi tata-pemerintahan sepantasnya tetap memperhatikan potensi dan eksistensi kelembagaan pemerintahan lokalitas (adat). Jika transformasi kelembagaan pemerintahan desa harus
menempuh jalan via pendekatan pemberdayaan (empowerment approach), maka pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa formal sepantasnya memilih opsi yang tidak berorientasi pada zero sum game (mengeliminasi salah satu “aktor” di lapangan). Melainkan, upaya pemberdayaan yang memberikan peluang kepada para-pihak yang berbeda-beda corak kelembagaan dan kepentingan untuk berkolaborasi secara partisipatif dalam mekanisme tata-pemerintahan yang bernafaskan kemitraan (partnership). Kemitraan dalam hal ini dimaknai tidak hanya sekedar “skema-skema kerjasama yang terbangun dalam suasana kesetaraan dan keadilan serta distribusi hak dan kewajiban
yang proporsional”, namun bisa bermakna lebih luas daripada itu. Konsep kemitraan menunjuk juga pada terbentuknya platform pengaturan organisasional yang memungkinkan berjalannya proses-proses pertukaran informasi dan pembagian tanggung jawab secara serasi atas suatu hal, dimana keputusan politik-lokal diambil dan disepakati secara kolektif, di antara pihak-pihak yang berbeda-beda afiliasi organisasi dan kepentingan di desa.

2. Implementasi Kemitraan dalam Tata-Pemerintahan Desa
2.1 Aras Struktur Kelembagaan
Sistem tata-pengaturan desa (rural governance system) yang ditopang oleh ideologi kemitraan mencakup semua aktivitas pengelolaan kegiatan kepemerintahan (“pengaturan masyarakat”) yang berdampak luas pada kehidupan komunitas lokal. Aspek-aspek penting tata-pengaturan desa yang direvitalisasi melalui ideologi kemitraan itu mencakup berbagai aras pengaturan desa sebagai unit pemerintahan dan pelayanan publik:
1. Proses-proses konstruksi dan konseptualisasi peraturan-peraturan ataupun konvensi-
konvensi lokal, yang mengikat secara hukum bagi publik (warga masyarakat) lokal.
2. Proses-proses eksekusi atau pengambilan keputusan atas suatu pokok permasalahan
menjadi sebuah kebijakan publik yang mengikat.
3. Proses implementasi dan pengawalan atas penyelenggaraan suatu peraturan yang
telah diputuskan dan menjadi kesepakatan bersama dalam masyarakat.
4. Proses pemeliharaan dan operasionalisasi jalannya peraturan yang telah disepakati.
5. Proses evaluasi dan peninjauan kembali peraturan dan konvensi-konvensi yang
dihasilkan.
Dengan mengacu pada asumsi-asumsi dasar implementasi kemitraan sebagaimana dibahas pada sub-bab terdahulu, maka studi-aksi partnership-based rural governance reform berupaya mendekatkan gagasan ideal dengan realitas sosial yang dijumpai di lima provinsi yang menjadi perhatiannya. Sesuai dengan hasil studi-aksi pada aras ”kelembagaan (struktur) pemerintahan desa”, disimpulkan bahwa reformasi tata-pengaturan pemerintahan seyogianya dilakukan secara bertahap-adaptif menyesuaikan
kekhasan struktur sosial dan karakter budaya lokal.

Sekalipun demikian, ada beberapa hal penting yang dapat mempercepat proses transformasi tata-pemerintahan desa ke arah otonomi, yaitu:
(1) tata-pemerintahan desa yang baik sangat tergantung pada kesiapan
dan kemauan komunitas desa untuk menerapkan gagasan kemitraan itu sendiri;
(2) tata-pemerintahan desa berpola kemitraan akan berjalan efektif, jika pemerintah di aras
kabupaten dan pusat memberi tempat dan membangun kerjasama dan komunikasi secara
lintas-batas birokrasi ”beyond system of government” (melepaskan diri dari kekakuan
birokrasi),
(3) dalam penguatan sumber-sumber keuangan desa, diperlukan kemauan, dan kemampuan lembaga
bisnis swasta untuk ikut serta dalam kemitraan, serta
(4) ada prakarsa untuk membangun sistem pengawasan sosial yang melengkapi sistem tata-
pemerintahan berbasis kemitraan (lihat Kolopaking, 2006).
Selain itu, dalam struktur kelembagaan pemerintahan desa yang reformatif diprlukan koridor-koridor komunikasi (komunikasi administratif) yang memungkinkan berjalannya proses politik diskursif yang
juga mengapresiasi komunikasi refleksif dan leluasa.


2.2 Penguatan Agensi Pemerintahan Desa
Penguatan sisi agensi pemerintahan desa untuk mengantisipasi ”luapan” tugas kepemerintahan yang sangat membebani desa sebagai unit-pemerintahan akibat otonomi desa, harus dilakukan secara antisipatif. Dengan memperhatikan luasnya spektrum tugas aparat pemerintahan desa dan tugas sosial-kemasyarakatan yang diemban unsur fungsional pemerintahan desa, maka area intervensi kegiatan aksi pada sisi agensi menjadi cukup luas. Namun demikian, perhatian tetap mengacu pada pokok-pokok yang digariskan oleh UU no. 32/2004 sebagai berikut:
1. Pasal 202-203 tentang: tata-pengaturan pembentukan kelembagaan pemerintah desa, yang
memberikan kekuasaan masyarakat lokal lebih leluasa dalam implementasi pelaksanaan
otonomiadministrasi pemerintahan sesuai semangat demokrasi. Dalam hal ini studi-aksi
diarahkan pada penguatan kapasitas skill dan ability aparat pemerintahan desa agar
memiliki kemampuan pengelolaan organisasional mandiri.
2. Pasal 206-208 tentang: pengaturan urusan-urusan administrasi pemerintahan desa, baik
yang berasal dari asal-usul desa, tugas pembantuan dari pemerintah pada hierarkhi “atas desa” hingga pembatuan tugas pada pemerintah Pusat. Dalam hal ini dilakukan penguatan penguasaan tata-kelola administrasi pemerintahan kepada aparat desa dan fungsional kelembagaan desa.
3. Pasal 209-211 tentang: pengaturan kelembagaan legislatif dalam tata-pemerintahan
desa dan kelembagaan lain penopang sistem tata-pemerintahan desa. Dalam hal ini,
aksi diarahkan pada pendidikan keorganisasian aparat pemerintah desa agar mampu
mengantisipasi perkembangan-perkembangan di masa depan, sehingga pada
gilirannya mampu mengembangkan sistem kelembagaan pemerintahan yang adaptif
dengan perkembangan jaman.
4. Pasal 212-213 tentang: peluang bagi desa untuk memberdayakan kekuatan pendanaan
yang berasal dari sumber-sumber keuangan lokal asli. Titik berat aksi adalah pada
pemberdayaan individu (warga masyarakat) yang diproyeksikan kelak akan memiliki
kemampuan untuk berperan penting sebagai aktivator kegiatan perekonomian desa.
5. Pasal 214-215 tentang: peluang-peluang kerjasama antar kelembagaan dan antar kawasan
yang dapat dimanfaatkan dan melibatkan desa, demi pencapaiankesejahteraan sosial-
ekonomi masyarakat lokal.
Untuk menopang kerjasama kelembagaan, maka pengembangan struktur kemitraan dan jaringan menjadi sangat penting. Kata-kunci keberhasilan jaringan-kemitraan tetap pada sumberdaya manusianya. Oleh karena itu maka, masuk-akal jika pengembangan kepemimpinan desa menjadi salah satu perhatian dari aksi di wilayah ini. pengembangan agensi pemerintahan desa dikonstruksi sedemikian rupa sehingga bersama-sama dengan struktur-kelembagaan pemerintahan, keduanya mampu menopanga-pemerintahan desa yang mandiri. Berlandaskan pada kekuatan struktur dan agensi, maka dapat dikembangkan tata-pemerintahan desa yang baik, yang pada gilirannya akan menjadi prasyarat terbentuknya otonomi dan kemandirian desa
C. KEMAMPUAN KEPALA DESA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan masyarakat desa merupakan salah aspek penting dalam mendorong tumbuhnya masyarakat desa yang mandiri, inovatif dan kreatif dalam segala aspek kehidupan. Diimplementasikannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberi peluang desa untuk menjadi daerah otonom. Sejalan dengan itu Kepala desa diharapkan menjadi salah satu aktor pembangunan
dalam mengkonkretisasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sebagai Contoh Di Kabupaten Lahat terdapat 567 desa namun hanya sebagian kecil saja desa yang telah memberdayakan masyarakatnya. Desa Pagar Sari dan Desa Karang Baru merupakan desa yang terdapat di Kabupaten Lahat. Mayoritas penduduk Desa Pagar Sari beretnis Jawa dan Desa Karang Baru beretnis asli Kabupaten Lahat.

Masing-masing desa memiliki keunggulan dan keterbatasan dalam aspek sumber daya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Keterbatasan tersebut pada dasarnya bukan penghambat dalam mendorong masyarakat menjadi lebih berdaya dan mandiri. Untuk menuju kearah tersebut, peran pemimpin menjadi salah satu aktor penting dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan masyarakat desa. Penelitian ini bermaksud melihat kemampuan kepemimpinan kepala desadi dua desa penelitian dalam memberdayakan masyarakatnya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan kemampuan kepemimpinan Kepala Desa dalam pemberdayaan masyarakat sudah berjalan namun belum maksimal. Pembangunan desa lebih cenderung kepada sektor fisik dan bukan pada peningkatan kemampuan dan kapasitas masyarakat. Kepala Desa juga belum memiliki konsep serta program pembangunan yang jelas. Mereka hanya mengandalkan legitimasi yang dimiliki. Kepala Desa Pagar Sari lebih banyak bersikap apatis dan tidak berupaya secara maksimal untuk mendorong tumbuhnya perilaku inovatif pada masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya peran serta masyarakat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan desa. Hal serupa juga ditemukan di Desa Karang Baru dimana orientasi pemberdayaan masyarakat belum sampai menyentuh pada tujuan dan fungsi dasar dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat.

Kemampuan kepemimpinan Kepala Desa sebagai motivator, administrator dan koordinator dalam proses pemberdayaan masyarakat juga belum berjalan optimal. Rekomendasi yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlunya peningkatan kualitas dan pengetahuan kepala desa dalam rangka meningkatkan kualitas kemampuan kepemimpinan sehingga dapat memberikan stimulasi kepada masyarakat, pembuatan kebijakan desa yang berorientasi kepada peningkatan kemampuan dan partisipasi masyarakat, perlunya merubah paradigma pembangunan masyarakat desa dari orientasi pembangunan fisik menuju kepada pembangunan sektor non fisik berbentuk peningkatan kapasitas dan kemampuan intelektual masyarakat desa.



















PENUTUP
KESIMPULAN

Tahapan Kemandirian
Dari pola yang secara spesifik beberapa persoalan dalam tata-pengaturan pemerintahan desa, yaitu:
i. Perkuatan kapasitas dan fungsi sistem kelembagaan pemerintahan desa yang
memperhatian struktur dan kapasitas sumberdaya manusia di tingkat lokalitas.
ii. Pengembangan pola-pola partnership-based rural administrative management and rural
governance system di aras lokal yang berorientasikan pada pendekatan partisipasi. Dari aras ini, diharapkan rural governance mechanism akan membaik, sehingga menjamin pencapaian kemandirian-dan otonomi desa di masa OTDA.
iii. Pengintegrasian para pihak dalam suatu
demokratis dan berlandaskan pada prinsip solidaritas serta kemitraan.

Dengan prinsip-prinsip ini, pendekatan pengelolaan tata-pemerintahan desa yang tata-pemerintahan desa tidak hanya ditentukan oleh 15 kepentingan sepihak, top-down, dan jauh dari praktek-praktek intransparansi, less-accountable, serta injustice.

Dengan demikian, otonomi desa (village level autonomy) sebagaimana cita-citanya disiratkan dalam UU no 32/2004 samasekali tidak boleh diartikan sebagai “keadaan untuk melepaskan kekuasaan desa secara 100 persen merdeka” (totally independent) dari kekuasaan di atasnya (negara). Hasil studi-aksi justru menunjukkan bahwa pola hubungan interdependensial antara lokalitas desa dan supra-desa tetap diperlukan. Persoalannya, adalah, hubungan tersebut berlangsung dalam relasi kekuasaan, kewenangan, keuangan serta sosio-psikologis yang sangat timpang, dimana pemerintah
desa sebagai unit-pemerintahan dan unit-negara termarjinalkan posisinya. Dalam struktur hubungan yang demikian, pemerintahan desa tidak akan mampu mengatur dan mengembangkan diri secara memadai bersama-sama dengan keseluruhan entitasnya. Bahkan, desa menjadi sangat tergantung pada struktur kelembagaan pada hierarkhi di atasnya dalam hal pendanaan dan inisiatif pembangunan.
Hasil studi-aksi berkeyakinan bahwa, otonomi desa akan berjalan dengan baik melalui cara yang lebih moderat dan didekati secara bertahap-tahap. Pada tahap pertama, otonomi didorong melalui upaya yang berfokus pada pengkondisian kelembagaan dan sumberdaya manusia yang menangani pemerintahan desa untuk mampu mengurus, mengatur, mengorganisasikan, mengevaluasi serta mengawasi dirinya sendiri. Akumulasi modal sosial lokal berupa pola-pengaturan serta norma-aturan berbasis lokal dan sah menjadi sumberdaya-kultural penopang otonomi desa yang sangat berarti. Artinya, pada tahap pertama akan diciptakan otonomi desa yang lebih dipahami sebagai kemandirian
fungsional (menjalankan fungsi-fungsi) dan bukan “kemerdekaan dalam relasi kekuasaan pemerintahan”. Beranjak dari proses conditioning di tahap pertama ini, upaya otonomisasi desa dilanjutkan ke arah tahap pematangan (tahap kedua). Dalam hal ini, pemerintahan desa diharapkan mampu menginisiasi “development-initiative” dan “self-financing capacity” yang memadai. Bila taraf ini dicapai maka pemerintahan desa memasuki tahapan kemandirian ekspresional (kemandirian untuk berinisiatif dan mewujudkan suatu inisiatif pembangunan). Jika kemandirian pada taraf ini telah dicapai, maka dijalankan upaya-upaya ke arah kemandirian tahap ketiga, dimana pemerintah desa
mampu mengekspresikan eksistensi dirinya setelah terbebas dari ketergantungan keuangan dan inisiatif-pembangunan sepenuhnya dari kelembagaan pemerintahan supra-desa. Dengan “terbebasnya” desa dari kekuasaan pemerintahan supra-desa, maka bargaining position pemerintah desa menjadi lebih besar vis a vis pemerintahan supra-desa. Pada taraf ini dicapailah kemandirian eksistensial untuk mengatur rumahtangga pemerintahan secara independent dan mampu melakukan negosiasi-setara dengan kelembagaan pemerintahan supra-desa sekalipun. Pada tahap terakhir inilah kemandirian dan otonomi pemerintahan desa dapat dicapai secara mandiri dan hakiki. Namun
demikian, hubungan dengan kelembagaan pemerintahan supra-desa harus tetap dibina dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga betapapun “kuatnya” posisi pemerintahan desa, namun keberadaan pemerintah desa tetaplah bersifat koordinatif-kooperatif terhadap pemerintahan di aras supra-desa (kabupaten, provinsial, dan pusat).

SARAN

Untuk mencapai cita-cita otonomi dan kemandirian desa itu, maka prinsip good-rural governance yang dikembangkan di setiap tahapan perkembangan pemerintahan desa dengan berlandaskan pada platform kemitraan menjadi prasyarat 16utama dan terpenting. Hanya dengan cara demikianlah, maka upaya untuk melakukan transformasi/pembaruan tata-pemerintahan desa dapat dicapai di seluruh kawasan NKRI.



DAFTAR PUSTAKA

Amanah, S. 2006. Mengembangkan Komunikasi Administrasi Effektif dalam Tata Kelola
Pemerintahan Desa yang Tanggap Gender. Working Paper Series Project No. 2.
Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.

Kolopaking, L.M. 2006. Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-Kelola Pemerintahan
Desa Berbasis Lokal. Working Paper Series Project No. 9. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.

Nasdian, F.T. 2006. Kemitraan dalam Tata Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan
Komunitas Pedesaan dalam Perspektif Kelembagaan. Working Paper Series Project No.
8. Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.

Sundawati, L dan Trison, S. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan
untuk Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Desa. Working Paper Series Project
No. 5. Partnership-Based Rural Governance Reform.

Mahardika Timur, (2001) Pendidikan Politik, Pemberdayaan Desa, Pedoman Politisi
Jogyakarta: Lapera Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar